Gibah yang Diperbolehkan, Apa Sajakah?

  
Gibah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti membicarakan keburukan atau keaiban orang lain. Kata gibah sendiri sering disamakan dengan gunjing; bergunjing; atau menggunjing, semuanya hampir memiliki padanan makna yang sama, yaitu  membicarakan kekurangan orang lain; mengumpat atau memfitnah. Semua hal yang dibicarakan adalah keburukan tentang seseorang yang -tentu- orang tersebut merasa benci kalau keburukannya tersebut dibicarakan. Pengertian tersebut, sama dengan apa yang diungkapkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallah dalam haditsnya.

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Tahukah kalian apa itu gibah?' Lalu sahabat berkata: 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu'. Rasulullah bersabda: 'Engkau menyebut saudaramu tentang apa yang dia benci'. Beliau ditanya: 'Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakan benar tentang saudaraku?' Rasulullah bersabda: 'Jika engkau menyebutkan tentang kebenaran saudaramu maka sungguh engkau telah ghibah tentang saudaramu dan jika yang engkau katakan yang sebaliknya maka engkau telah menyebutkan kedustaan tentang saudaramu. (HR. Muslim no. 2589)

Bahkan dalam kalam-Nya yang mulia, jauh-jauh hari Allah ta'ala telah melarang perilaku gibah ini.
"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kamu mencari kesalahan orang lain dan jangan di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? tentu kalian akan merasa jijik. Bertakwalah kalian pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang." (QS. Al-Hujurat : 12)

Dalam ayat ini, Allah menegaskan larangan menggunjing (gibah) satu sama lainnya. Bahkan, mengunjing disamakan dengan memakan bangkai saudaranya, karena keburukan; kekurangan; kesalahan; aib seseorang itu ibarat sesuatu yang tidak berharga bahkan menjijikan layaknya bangkai yang harus dibuang atau dikubur rapat-rapat, agar "baunya" tidak menyebar kemana-kemana. Maka, orang yang membicarkan keburukan; kekurang; kesalahan; aib seseorang itu hakikatnya telah membuka "tutup" bangkai tersebut untuk dimakan sendiri bahkan untuk dibagikan; disebarkan; dan dimakan bersama-sama dengan yang lainnya.

Namun, apakah larangan tersebut tegas apa adanya seperti yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya? Adakah pengecualian terhadap larangan tersebut? Mengingat, dalam perkara Fikihpun seorang muslim diperbolehkan memakan daging hewan Babi -misalkan- jika benar-benar terdesak. Imam Nawawi, salah satu ulama besar pengikut madzhab Imam Syafi'i, berusaha menjawab permasalahan tersebut. Dalam kitabnya yang masyhur, Riyadhus Shalihin, dalam Kitab XVIII; Hal-hal yang Dilarang, Beliau mengungkapkan bahwa ada gibah yang diperbolehkan namun dengan tujuan yang sah menurut ketentuan syar'i, yaitu sesuatu kemaslahatan yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan melakukan gibah.

Penulis, menyarikannnya ke dalam beberapa perincian yang menjadi sebab utama tentang dibolehkannya gibah tersebut. Pertama, pengaduan. Contoh, pengaduan seseorang yang dizalimi kepada penguasa atau hakim (pihak berwenang). Sehingga, yang teraniaya dapat terlindungi dan si pelaku penganiayaan dapat dihukum, dan jera (tidak melakukan kembali keburukannya). Seseorang dizalimi tersebut boleh mengungkapkan keburukan si orang yang menganiaya dengan sejelas-jelasnya.

Kedua, meminta bantuan agar dapat mengubah kemungkaran atau mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang benar. Contoh, ketika seseorang meyampaikan kemungkaran saudaranya kepada seseorang yang dirasa punya kekuatan dan pengetahuan untuk mencegah kemungkaran tersebut. Tentunya, dengan tujuan  agar orang yang berbuat mungkar tersebut dapat kembali ke jalan yang benar.

Ketiga, meminta fatwa. Contoh, ketika seseorang meminta fatwa tentang suatu permasalahan keluarga (suami atau istri) kepada seorang alim atau ulama tentang permasalahan yang dihadapinya, apakah permasalahan tersebut dibenarkan menurut syariat atau tidak? Maka seseorang boleh mengungkapkan keburukan tentang orang yang dimaksud untuk diketahui fatwa tentang permasalahannya.

Kesemuanya itu, menurut Imam Nawawi, alangkah baiknya seseorang yang menyampaikan keburukan seseorang untuk tujuan yang dibenarkan tersebut, tidak menyebutkan nama secara subjektif (identitasnya), karena walaupun tidak disebutkan identitasnya inti permasalahan tetap akan tertangkap dan orang yang diadukan tetap terjaga kehormatannya.
Keempat, menetapkan status "cela" terhadap perawi hadis yang memang memiliki cela, dengan tujuan untuk mengetahui suatu derajat hadis.

Kelima, bermusyawarah untuk menjaga suatu kemungkaran. Contoh, musyawarahnya kepolisian untuk mengungkapkan kejahatan seseorang, agar kejahatannya dapat dicegah.

Keenam, meningatkan orang yang saleh terkait kelompok atau seseorang yang sering berinteraksi dengannya, yang ternyata seseorang atau kelompok tersebut adalah ahli bidah atau ahli fasik. Hal ini, bertujuan agar orang yang diperingatkan tersebut tidak terpengaruh oleh seseorang atau kelompok orang yang merupakan ahli bidah atau ahli fasik tersebut.

Ketujuh, mengadukan seorang pemegang kekuasaan kepada penguasa yang lebih tinggi karena penguasa yang diadukan tersebut dirasa tidak mampu memimpin, atau penguasa tersebut terbukti lalai, fasik, atau tidak menjalankan tanggung jawab dan amanah kekuasaannya.

 Kedelapan, mengungkapkan tentang seseorang yang selalu menampakkan kefasikan dan bidah dengan bangganya. Dengan catatan, tidak menyangkut pautkannya dengan cacat; cela yang lain yang tidak ada hubungannya. Contoh, peminum khamer, penganiaya, pencuri dan yang serupa dengannya diungkapkan keburukannya tersebut, tapi tidak mencela fisiknya, misalkan.

Kesembilan, identitas. Apabila seseorang yang sudah dikenal dengan identitas khasnya dan seseorang tersebut rela dengan identitasnya tersebut, maka boleh diungkapkan atau disebut di depan yang lainnya untuk membantu mengenalnya. Seperti, perkataan: Fulan yang tunanetra, dan yang lainnya.

Demikian, beberapa hal yang menjadi pengecualian perilaku gibah yang seyogianya dapat dihindari dan ditinggalkan. Semoga, dapat menambah wawasan kita tentang Islam, dan menjadi pemicu kita untuk terus belajar dan beramal saleh.

Penulis masih sangat fakir akan ilmu-Nya. Dengan hati yang lapang dan penuh perhormatan, penulis bersedia menerima tambahan ilmu; masukan; kritikan; saran mengenai tulisan ini dari segenap pembaca yang budiman. Semoga kita selalu ada dalam bimbingan-Nya. Aamiin.*

*Disarikan dari Kitab Riyadhus Shalihin (dalam terjemahan), karya Imam Nawawi, Kitab XVIII: Hal-hal yang Dilarang. Subbab: Gibah yang Diperbolehkan, Hal. 491. Penerbit Jabal: Bandung. Cetakan Ke-10. Tahun 2018.


Sumber : Kompasiana.com 8 Maret 2020

Posting Komentar

 
Top